Fenomena darurat sampah kini menjadi rutinitas tahunan di berbagai kota dan desa di Indonesia. Tumpukan sampah menggunung di TPS, pencemaran sungai dan pesisir, laut, meningkat, sementara banyak Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang mengalami kelebihan kapasitas. Situasi ini menunjukkan satu hal penting: persoalan sampah bukan semata masalah teknis, melainkan masalah tanggung jawab. Selama ini, narasi mengenai pengelolaan sampah cenderung meletakkan beban pada salah satu pihak. Padahal, dalam rantai produksi maupun konsumsi, ada tiga aktor utama yang semestinya memiliki peran besar: masyarakat sebagai penghasil sampah, perusahaan sebagai produsen sampah, dan pemerintah sebagai pemegang mandat tata kelola. Kini, satu hal yang tidak kalah penting untuk diperkuat adalah peran lembaga pendidikan dan pemuka agama sebagai garda depan edukasi publik.

Fenomena darurat sampah kini menjadi rutinitas tahunan di berbagai kota dan desa di Indonesia. Tumpukan sampah menggunung di TPS, pencemaran sungai dan pesisir, laut, meningkat, sementara banyak Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang mengalami kelebihan kapasitas. Situasi ini menunjukkan satu hal penting: persoalan sampah bukan semata masalah teknis, melainkan masalah tanggung jawab. Selama ini, narasi mengenai pengelolaan sampah cenderung meletakkan beban pada salah satu pihak. Padahal, dalam rantai produksi maupun konsumsi, ada tiga aktor utama yang semestinya memiliki peran besar: masyarakat sebagai penghasil sampah, perusahaan sebagai produsen sampah, dan pemerintah sebagai pemegang mandat tata kelola. Baca Juga Sesat Logika Kemenkomdigi dalam Menyimpulkan bahwa Cloudflare Melindungi Situs Judi Kini, satu hal yang tidak kalah penting untuk diperkuat adalah peran lembaga pendidikan dan pemuka agama sebagai garda depan edukasi publik.
1)
Masyarakat: Konsumen yang Belum Menjadi
Produsen Kesadaran Setiap hari, masyarakat menghasilkan sampah dari konsumsi
sehari-hari. Namun sebagian besar masih terjebak pada pola “buang dan lupakan.”
Padahal, perubahan perilaku adalah kunci dari seluruh sistem pengelolaan
sampah. Masyarakat harus berperan
dalam: Mengurangi penggunaan plastik dan barang sekali pakai, Memilah sampah
dari rumah, Mengolah sampah organik melalui kompos, Mendukung produk yang ramah
lingkungan, Berpartisipasi dalam bank sampah, kompos warga, dan ekonomi
sirkular lokal, Tanpa perubahan paradigma dan perilaku, sampah akan tetap
menjadi persoalan struktural.
2) Perusahaan: Produsen Sampah yang Harus
Bertanggung Jawab Perusahaan adalah aktor utama yang memproduksi kemasan sekali
pakai dan produk yang sulit didaur ulang. Namun selama ini sebagian besar
tanggung jawab pengelolaan sampah dialihkan kepada masyarakat dan
pemerintah. Konsep Extended Producer
Responsibility (EPR) harus ditegakkan, sehingga perusahaan berkewajiban untuk:
Mendesain produk yang lebih ramah lingkungan, Menyediakan sistem daur ulang dan
pengembalian kemasan, Menanggung biaya pengelolaan sampah yang mereka hasilkan,
Mengurangi ketergantungan pada kemasan sekali pakai, Tanpa penegakan EPR,
mustahil Indonesia keluar dari krisis sampah.
3) Pemerintah: Mandat Tata Kelola yang Belum
Optimal Pemerintah memiliki mandat untuk memastikan sistem pengelolaan sampah
yang efektif, adil, dan berkelanjutan. Namun pendekatan “kumpul–angkut–buang”
masih mendominasi. Kelemahan yang
sering muncul: TPA penuh atau rusak secara ekologis, Minim fasilitas daur
ulang, Lemahnya penegakan regulasi terhadap produsen sampah, Keterbatasan
anggaran dan sumber daya, Edukasi publik yang tidak sistematis, Kurangnya
dukungan terhadap inisiatif warga, Pemerintah harus memimpin reformasi tata
kelola yang berbasis pengurangan dari sumber, daur ulang, dan kolaborasi
multipihak.
4)
Satuan Pendidikan: Fondasi Perubahan Perilaku
Sejak Usia Dini Salah satu akar masalah darurat sampah adalah minimnya edukasi
yang sistematis. Satuan pendidikan dari PAUD hingga perguruan tinggi memegang
peran strategis untuk membentuk budaya baru.
PAUD dan Sekolah Dasar
Mengenalkan konsep “mengurangi, memakai ulang, dan mendaur ulang.”
Melakukan praktik memilah sampah di sekolah. Mengajarkan anak untuk membawa
botol minum dan kotak makan. Membiasakan komposting sederhana dalam kegiatan
belajar. Pada usia ini, perilaku mudah dibentuk dan akan terbawa hingga dewasa.
SMP dan SMA/SMK Mengintegrasikan isu
lingkungan dalam mata pelajaran. Membuat proyek lingkungan berbasis riset
sederhana. Mengembangkan ekstrakurikuler adiwiyata, bank sampah siswa, dan
inovasi daur ulang. Usia remaja adalah masa yang ideal untuk membangun
kepemimpinan ekologis. Perguruan Tinggi
Mengembangkan riset teknologi daur ulang, pengurangan sampah, dan energi
terbarukan. Mendorong kampus menjadi laboratorium praktik ekonomi sirkular.
Membentuk komunitas mahasiswa pencinta lingkungan sebagai katalis perubahan
sosial. Jika sekolah dan kampus mengambil peran penuh, budaya baru pengelolaan
sampah akan lahir dari generasi muda.
5)
Pemuka Agama: Menghidupkan Etika
Lingkungan Dalam masyarakat Indonesia,
pemuka agama memiliki otoritas moral yang kuat. Suara mereka sering kali lebih
didengar dibandingkan aparat pemerintah. Karena itu, pemuka agama dapat
berperan besar dalam: Menyampaikan
pesan keagamaan tentang amanah menjaga bumi Mengintegrasikan nilai-nilai
kebersihan dan tanggung jawab dalam khotbah, pengajian, atau khotbah Jumat
Menggerakkan komunitas jamaah untuk memilah sampah Menjadi teladan dalam
pengurangan sampah plastik di rumah ibadah Mendorong masjid, gereja, pura,
vihara, dan klenteng menjadi pusat edukasi lingkungan Ajaran agama pada
dasarnya selalu memerintahkan manusia untuk menjaga alam dan tidak membuat
kerusakan. Jika pesan ini disuarakan secara konsisten, gerakan kolektif akan
jauh lebih kuat. Mengapa Darurat Sampah
Tidak Pernah Selesai? Tanggung jawab
tidak dibagi secara adil. Edukasi tidak berjalan sistematis dari rumah,
sekolah, hingga rumah ibadah. Produsen masih dominan menentukan pola konsumsi
masyarakat. Pemerintah belum membangun sistem yang berpihak pada ekonomi
sirkular. Tidak ada penegakan hukum yang kuat.
Membangun Solusi yang
Berkelanjutan dan Berkeadilan
Ø Penguatan
edukasi lintas sektor Sekolah, kampus, rumah ibadah, organisasi masyarakat, dan
komunitas harus bergerak bersama.
Ø Penegakan
EPR untuk perusahaan Produsen wajib bertanggung jawab atas kemasan dan produk
yang mereka hasilkan.
Ø Reformasi
tata kelola pemerintah Sistem pengelolaan harus mengedepankan pencegahan, bukan
hanya penanganan.
Ø Perubahan
perilaku masyarakat Melalui edukasi yang konsisten, insentif, dan model
kolaboratif. Krisis sampah adalah
krisis tanggung jawab kolektif. Tanpa keterlibatan total dari masyarakat,
perusahaan, pemerintah, lembaga pendidikan, dan pemuka agama, darurat sampah
hanya akan terus menjadi siklus tahunan tanpa solusi. Saatnya membangun budaya
baru pengelolaan sampah yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berakar pada
edukasi.
Wardi, Ketua Sarekat
Hijau Indonesia Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten Karawang
Editor : Nana Sagle















Komentar
Tuliskan Komentar Anda!